3 Cara Muhammadiyah Membangun Budaya Egalitarian


Demokratisasi yang berkembang pesat sejak reformasi 1998 berdampak terhadap keterbukaan dan kebebasan dalam hampir semua bidang kehidupan. Selain melahirkan budaya egalitarian, demokratisasi dalam politik Indonesia saat ini melahirkan feodalisme baru (neo-feodalisme) dalam bentuk politik dinasti di partai politik dan pemerintahan, elite politik yang berperilaku kebangsawanan, kekuasaan “raja-raja lokal” di daerah, dan dominasi kekuatan ekonomi kapital.


Neo-feodalisme juga tumbuh dalam lembaga dan organisasi agama yang melahirkan kultus individu dan relasi parokhial  yang ditopang pemahaman dan budaya keberagamaan tradisional-konservatif.
Proses demokrasi yang serbaprosedural telah mereduksi esensi berdemokrasi. Bersamaan dengan itu tumbuh egoisme elite, kelompok dan golongan yang menjadikan penyelenggaraan pemerintahan sering kehilangan obyektivitas dan prinsip meritokrasi.
Rakyat dan umat seringkali dirugikan dan dibuat tak berdaya dalam budaya neofeodal dan parokhial tersebut. Karenanya diperlukan langkah-langkah untuk menangkalnya.
3 cara Muhammadiyah membangun budaya egalitarian adalah sebagai berikut :
1.       Diperlukan perubahan regulasi politik yang memungkinkan masyarakat melakukan mobilitas social berdasarkan system meritokrasi dan budaya egalitarian dalam bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan.
2.       Diperlukan pembatasan kewenagan politik kepala daerah, kepemilikan asset oleh perorangan, penguatan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
3.       Diperlukan pengawasan public dan institusi civil society terhadap penyelenggaraan pemerintahan dari pusat hingga daerah, agar terhindar dari praktik politik dinasti, ajimumpung kelompok, korupsi, dan penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan diri dan golongan.

Comments

Popular posts from this blog

Pengertian Tahayul, Bid’ah dan Churofat (TBC)

Khittah Langkah 12

Muqadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (MADM)